Pembantu Sementara


Suatu ketika, pembantu yang hampir empat tahun ini bekerja di rumahku mohon pamit. Dia akan pulang ke kampungnya, sebuah kota kecamatan di Jateng, dan pekan depan akan segera melangsungkan pernikahan. Karena menikah adalah hak asasi setiap orang dan lagi pula, kalau kami pikir, usianya sudah hampir 27, cukup terlambat dibanding dengan gadis-gadis kampung sekelasnya, akhirnya istriku hanya bisa melepas dan merestuinya. Kendati rencana kepulangan pembantu ini sebenarnya sudah lama kami ketahui, namun tak urung hari itu istriku blingsatan juga.
Pasalnya sampai saat ini dia belum juga mendapatkan pengganti. Padahal dia sudah minta tolong kiri-kanan, ke saudaranya, ke teman-temannya, ke pembantu-pembantu di sekitar, termasuk ke pembantuku yang akan pulang ini sudah dipesankan untuk mencari pembantu baru. Tetapi karena mencari pembantu memang pekerjaan gampang-gampang-susah, kadang gampang sekali dan kadang susah sekali, dan kebetulan sekarang ini istriku sedang mengalami saat-saat apesnya (Istriku tak pernah mau mengambil pembantu dari Yayasan Penyalur. Aku sendiri tidak habis mengerti dengan alasannya. Padahal pikiran normalku bilang, selama ini opini kita telah terbentuk akibat pemberitaan di surat-kabar yang selalu menyampaikan hal-hal negatifnya saja).
Kebingungan istriku makin bertambah manakala dia teringat dua pekan ke depan, kedua anak kami, kelas 1 dan kelas 3 SD, akan liburan kenaikan kelas, dan dia telah berjanji untuk mengajak keduanya berlibur selama tiga pekan di rumah Kakek-Neneknya. Meski pun telah kukatakan aku dapat mengurus rumah sendiri, sementara mereka berlibur, dan pakaian kotorku akan kukirim ke Laundry, tetap saja istriku kelihatan bimbang. Satu hal yang kusuka dari istriku, dia memang sangat bertanggungjawab terhadap keluarga. Istriku bilang, Dia merasa tidak enak dan tidak tenang meninggalkan aku mengurus segalanya sendiri. Dia baru bisa nyaman berlibur kalau di rumah sudah ada pembantu. Dan Dia kelihatannya mengalami dilema, antara ragu-ragu dan tak enak, sementara untuk membatalkan liburan dengan anak-anak tentu hampir mustahil, karena sudah direncanakan lama, dan dia sendiri tentu tak akan mengecewakan mereka.
Ditengah kegalauan itu, tiba-tiba Wati, pembantu yang akan pulang kampung ini mengajukan sebuah usul. Bagaimana kalau dia meminta kakaknya, barang sebulan dua bulan, menjadi Pembantu Sementara di rumah kami, sebelum istriku memperoleh pembantu baru atau sambil menunggu kepastian dari calon suami yang akan dinikahinya. Istriku memang pernah minta izin padaku untuk mempekerjakan kembali si Wati, meski sudah menikah, dan disuruhnya si Wati ini membujuk sang suami agar berani mengadu nasib di Jakarta. kalau perlu buat mereka akan dikontrakkan rumah petak di pingiran kompleks. Mendengar usulan yang tiba-tiba dilontarkan itu, istriku langsung setuju. Toh, dia juga sudah cukup kenal dengan si kakak pembantuku ini yang bernama Yati (istriku memanggilnya Mbak Yati).
Sang kakak memang beberapa kali menginap di rumah kami, kalau sedang ke Jakarta mengunjungi anaknya yang juga bekerja sebagai pembantu di salah satu rumah di lingkungan kompleksku. Belakangan sudah tidak pernah lagi karena anaknya itu menikah dengan Satpam Pabrik di kota kecamatan. Melalui perantaraan si Satpam, keesokan harinya sang kakak telah menginterlokal istriku, dan ternyata dia menyanggupi kalau hanya untuk sementara. Bukan main gembiranya istriku ketika menyambutku pulang dari kantor. Wajahnya yang kemarin kulihat kusut, kini cerah berseri-seri. Akhir pekan itu, kami sekeluarga berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan Wati, pembantuku.
Di tengah acara, secara tak sengaja, beberapa kali aku memperhatikan Yati, sang kakak yang sebentar lagi akan menjadi pembantu sementara di rumahku. Aku sendiri tak tahu, kenapa mataku berkali-kali melihat ke arahnya. Tapi lama-lama akhirnya aku sadar juga. Aku berkali-kali melirik karena memang ada yang menarik perhatianku. Saat itu Yati memakai kebaya pesta, yang menurutku biasa-biasa saja. Tapi karena tubuhnya memang sintal, pada akhirnya kebaya ketat itu menampilkan lekuk dan celah-celah yang menurutku sangat indah. Terus terang baru sekali ini aku memperhatikan sang kakak. Waktu dia sering bermalam di rumahku dulu aku tidak terlalu memperhatikan. Yati memang agak sedikit lebih putih dari adiknya. Juga sedikit lebih manis. Dan meski pun sudah mempunyai dua anak, dan hampir memiliki cucu pula, tubuhnya masih kelihatan kencang.
Usianya dengan Wati memang terpaut cukup jauh. Dia tersenyum waktu kusalami. Tangannya halus, bibir tipisnya menampilkan gigi yang lumayan rapi, sementara lesung pipit begitu menonjol di kedua pipinya. Dengan kebayanya ini, semua lekuk tubuhnya seperti tergambar jelas. Belum lagi sebagian dada dan belahannya yang tersembul. Rasanya aku bisa mengira-ngira betapa besar buah dada dan betapa padat bongkahan pantatnya yang begitu bahenol. Hari Sabtu, pekan selanjutnya, setelah pembagian rapor, aku mengantar istri dan kedua anakku ke bandara untuk segera memulai liburan. Yati sudah ada di rumahku sejak Kamis sore. Berarti sudah tiga hari ini dia bekerja. Setelah dari bandara aku main tennis. Sampai di rumah sudah hampir jam 6. Anak-anak telepon dan bilang senang sekali liburan di rumah Kakek-Neneknya.
Setelah Mandi aku nonton TV di ruang keluarga, mungkin karena terlalu lelah, Aku tertidur. Aku baru terbangun sekitar jam setengah sepuluh, karena perutku bernyanyi minta diisi. Aku ke belakang. Kamar pembantuku sudah gelap. Lalu aku ke ruang makan dan kulihat sudah ada makanan yang disediakan untukku. Jam 8 pagi hari Minggu, aku bangun. Hari ini aku berencana ke bengkel, merawat ini-itu dan mengganti ini- itu. Kepada Yati kubilang kalau aku tidak makan siang di rumah. Cukup lama aku di bengkel, karena selain merawat ini-itu dan mengganti ini- itu, aku juga tertarik untuk menambah ini-itu. Dari bengkel terus ke Senayan. Lihat pameran mobil. Di sana aku cukup senang bisa cuci mata setelah puas melihat mobilnya, bisa puas juga melihat cewek penjaganya. Bukan main, cewek-cewek muda itu, kupikir mereka semakin berani menonjolkan lekuk dan memamerkan keterbukaan. Kalau lama-lama di sini bisa-bisa aku pusing sendiri.
Sampai di rumah, seperti kemarin, aku lalu mandi dan tertidur di ruang TV. Tersentak bangun sekitar jam sepuluh, makan, dan terus tidur lagi. Sebelum tidur sempat terlintas bayangan cewek-cewek sexy di pameran mobil tadi siang. Hari Senin sekitar jam 8 pagi aku bangun. Hari ini hari libur nasional. Aku tidak ingat ada perayaan apa. Dan karena tidak ke kantor, aku bermalas-malasan dulu di tempat tidur. Tapi ada sesuatu yang aneh kurasakan. Setelah buang air kecil dan menyiram ujungnya dengan air dingin tadi, sampai sekarang kemaluanku ternyata tetap tegak, berdiri dengan gagahnya (Bagi yang belum tahu atau bagi yang belum sadar, batang kemaluan setiap laki-laki, mulai dari bayi sampai kakek-kakek, saat bangun tidur di pagi hari pasti tegang dan baru akan normal kembali setelah buang air kecil atau diguyur ujungnya dengan air dingin).
Aku mulai blingsatan. Kurasakan batangku begitu tegangnya. Biasanya setelah buang air kecil, kemaluanku akan normal lagi. Kupikir pasti gara-gara nonton pameran mobil kemarin. Untuk menenangkan si “Joni” ini aku lalu keluar, ke beranda belakang rumahku, membuat kopi, duduk dan merokok sambil membaca koran kemarin yang belum sempat kubaca. Ku bolak-balik koran dan kuhembus kuat asap rokok, namun tegangnya batangku belum turun-turun juga. Aku tidak tahu kalau saat itu, Yati, pembantu sementara di rumahku sedang berada di kamar mandi yang letaknya di kiri depanku, di seberang taman tempatku duduk. Rasanya aku pun dari tadi tidak mendengar guyuran air, atau memang aku sendiri yang sedang pusing dengan penisku hingga telingaku tak mendengar apa- apa.
Aku sangat kaget ketika Yati keluar dari kamar mandi itu dengan hanya melilitkan handuk untuk menutupi tubuhnya. Dengan tenangnya dia berjalan menuju kamar. Tampaknya dia tidak mengetahui keberadaanku. Aku benar-benar terkesiap karena tubuh itu kulihat begitu molek. Batangku tambah tegang dan sekarang malah mulai berdenyut-denyut.
“Yat!”,
aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba aku memanggilnya. Kulihat dia begitu kaget, hingga hanya bisa diam mematung. Mungkin tadinya dia pikir aku belum bangun hingga dia bebas saja keluar kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk.
“Kesini Yat!”,
kuulangi panggilanku, tetapi tetap belum tahu untuk apa aku memanggilnya. Agak ragu-ragu dia mendekat. Berjalan perlahan memutar mengelilingi taman menuju kursi panjang tempatku duduk. Makin dekat kulihat kemontokan tubuhnya. Handuk itu begitu kecil hingga sebagian dada atas, belahan dada dan sebagian besar paha putih mulusnya terlihat jelas. Dan handuk itu juga tidak begitu tebal hingga puting susunya kelihatan membayang mencuat dari balik handuk. Sungguh merangsang.
“Ya, Pak”,
dari jauh dia sudah berhenti, menunggu. Berdiri agak canggung, kedua tangannya bergerak bingung seolah ingin menutupi “ketelanjangannya”. Tubuhnya bertambah putih karena pucat. Wajahnya ditundukkan
“Dekat sini… saya pengen ngomong”, kataku tetap tanpa ide apa pun. “Duduk”, perintahku, ketika dia sudah dekat, kugeser pantatku memberinya tempat. Dia mau duduk, tapi ragu-ragu, canggung, mungkin karena dia pikir kalau dia duduk handuknya pasti akan terangkat lebih tinggi. Aku perintahkan dia sekali lagi untuk duduk, dan benar saja… seluruh paha sampai ke pinggulnya telah terhidang mulus di depanku. Batangku kembali berdenyut. Yati kembali menundukkan wajahnya.
“Lain kali, kalau keluar dari kamar mandi, jangan cuma pakai handuk begitu…”, kalimat itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Aku baru sadar kalau dari tadi sejak aku memanggilnya, cuma syaraf-syaraf refleks-ku saja yang bekerja. Lalu, setelah berhasil menguasai diri kusempurnakan kalimatku, “Kalau istriku tahu, kamu bisa dimarahi”. “Ya, Pak”, jawabnya takut-takut. “Kamu mengerti?”, tegasku. “Ya, Pak”, hanya itu yang keluar dari mulutnya, sementara wajahnya masih menunduk. “Yat, kalau berbicara dengan saya, tidak perlu menunduk terus seperti itu…”,
kucoba melembutkan suasana. Aku dan istriku memang tidak menyukai cara-cara feodal dalam hubungan Majikan-Bedinde. “Seperti adikmu, kamu juga sudah dianggap seperti keluarga sendiri disini”, ternyata kalimat terakhirku ini berhasil memancingnya. Dia mengangkat wajah dan memandangku meski hanya sekilas. Lalu menunduk lagi. “Maaf ya kalau tadi saya marah”, kataku setelah beberapa saat hening. “Ya, Pak”. “Maksud saya…, saya cuma ngasih tahu kamu…”. “Ya, Pak, saya mengerti Pak”. “Kamu tahu nggak… apa akibat kamu keluar kamar mandi cuma pakai handuk begitu?”, tanyaku memancingnya. Dia mengangkat wajahnya, memandangku sebentar, lalu menggeleng.
“Pengen tahu?”, kataku, dia mengangguk. “Sini!”, Kuraih pundaknya begitu dia mulai bergeser. lalu kudekatkan kepalaku ke wajahnya. “Ini akibatnya… ‘ini’ saya jadi tegang…”, bisikku di telinganya sambil menunjuk ke selangkanganku. Kulihat dia kaget, wajahnya memerah, tersipu malu. Segera kuserang dia dengan kata-kata kunci. “Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya… kan ini gara-gara kamu juga yang membuat ‘ini’ saya jadi tegang begini…”. “Ya, Pak, saya juga malu Pak kalau orang lain tahu”, Beres, pikirku.
Kelihatannya dia bisa dipercaya. Tapi rasanya aku masih perlu mengujinya dulu. Saat itu Penisku semakin tegang. Sebenarnya aku sudah tak sabar ingin segera menerkam tubuh pembantuku ini. Untung masih dapat kutahan. Aku masih akan menguji skenarioku dulu. “Kamu sekarang umurnya berapa Yat?”, tanyaku. “43 Pak”. Aku menggeleng lalu menggangguk-angguk. “Masih sekel gini… kamu minum jamu ya?, pancingku lagi. “Cuma kadang-kadang Pak”. “Benar yat, badan kamu kayaknya masih kenceng banget, saya jadi pengen lihat… boleh kan?”, dia agak terhenyak dan segera memegang tanganku yang sedang berusaha menurunkan handuknya. Tapi dia cuma memegangnya. Sedang tanganku yang satu lagi dari tadi tetap berada di pundaknya.
“Malu Pak…”, katanya, tapi dia tetap tidak berusaha menghentikan tanganku yang kini bahkan telah melepas lepitannya hingga handuk itu melorot. Kulihat tubuhnya memang indah sekali. Buah dadanya besar, tidak terlalu turun dan tetap kencang. Perutnya seperti tak berlemak dan bulu-bulu halus di sekitar kemaluannya berbaris rapi, tidak bisa disembunyikan meski saat itu dia merapatkan kedua pahanya. Aku meraih payudaranya, mengusap, merasakan kekenyalannya sebentar lalu mulai memilin putingnya. “Badan kamu luar biasa”, aku mulai memujinya. “Anu saya jadi makin tegang nih… kamu harus tanggung jawab ya…”,
Lalu kukeluarkan penisku (di rumah aku biasa hanya menggunakan celana pendek tanpa CD). “Tuh, lihat, dari tadi nggak bisa turun-turun…”, kataku. Kulihat dia semakin tercekat dan makin malu-malu. tapi dari pandangan matanya aku tahu dia cukup kaget melihat besarnya batangku yang tegak perkasa. “Kalau sudah tegang begini susah diturunin lagi… mesti dikeluarin… kalau nggak… saya bisa pusing… kamu bantu saya ya…”, kulihat ekspresi wajahnya, setengah bingung. “Yuk, ikut saya ke kamar”, aku segera bangkit, sengaja kulakukan ini untuk mengujinya dan… ternyata benar, dia ikut bangkit, melilitkan kembali handuk ke tubuhnya dan berjalan mengikutiku ke kamar. Sampai di kamar aku duduk di tepi tempat tidur dan kuminta Yati mendekat.
“Buka aja handuknya Yat… saya pengen lihat lagi badan kamu yang bagus”, kataku sambil aku pun membuka kaos dan celana pendekku. Lalu aku berbaring dan kusuruh dia duduk di tepi tempat tidur. Kuraih tangan kanannya dan kugenggamkan pada batang kemaluanku yang tegang. Lalu kuajak tangannya itu mulai bergerak naik-turun perlahan di sepanjang batangku. Gerakan seperti mengocok, namun agak pelan, dan pegangannya pun tidak terlalu erat. Setelah beberapa kali naik turun kulepaskan tanganku dari tangannya dan kubiarkan sendiri tangannya bergerak tanpa kutuntun lagi. Tangan Yati bergerak sendiri, namun gerakannya masih tetap lemah. Genggamannya pun tidak terlalu kencang, malah cuma seperti menempel saja.
Kubiarkan saja dulu karena kupikir hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, dia memang sebenarnya tidak mau atau tidak suka mengocok kemaluanku, tapi terpaksa. Kedua, dia masih malu-malu dan Ketiga, Dia ingin berlama-lama mempermainkan penisku. Kemungkinan pertama langsung kugugurkan karena meski gerakan naik- turunnya tetap lambat namun makin lama genggamannya di penisku terasa semakin erat. Sambil mencoba menikmati, kupejamkan mata, mungkin ini bisa membantunya kalau dia memang masih malu. Ternyata gerakan mengocoknya masih tetap lambat dan genggamannya tetap erat, namun jari telunjuknya mulai sesekali mengusap kepala kemaluanku hingga membuatku geli-geli nikmat.
Berarti…
Kubiarkan dia sementara waktu mengocok kemaluanku dengan lambat, beberapa saat kemudian baru kuminta dia untuk mempercepat gerakan. “Agak cepat Yat… nah gitu… uhhhh…”, dia mulai mempercepat gerakan naik turunnya di sepanjang batang kemaluanku. Makin lama makin cepat, lalu melambat lagi, mempercepat lagi, begitu berulang- ulang. Aku hanya diam dan sesekali menggelinjang, menikmati sensasi yang dilakukan tangannya di batang kemaluanku. Kenikmatan itu begitu mengalir… makin lama makin deras. Kulihat Yati sudah mulai berganti- ganti tangan dan kadang dengan kedua tangannya sekaligus mengocok batangku. Siku dan lengannya mulai berani ditempelkan di pahaku. Sementara tubuh telanjangnya mulai berkilat keringat. Kupikir cukup pintar juga Yati melakukan ini atau mungkin karena dia telah berumur dan banyak pengalaman. Kemaluanku makin mengembang saja rasanya hingga terasa sekali seperti telah penuh. Permainan dua tangan Yati memang mendatangkan kenikmatan yang hebat.
Seluruh syarafku menegang menahan nikmat itu. Beberapa kali tubuhku terlonjak ketika jari-jarinya mengusap kepala kemaluanku dan lonjakan itu akan berubah menjadi gelinjangan manakala jari-jari itu sesekali menyentuh-nyentuh lubang kecil di ujungnya. Rasanya aku hampir sampai di puncak. Air maniku sepertinya sudah di ujung. Dengan refleks aku bangkit. Sambil meremas-remas gumpalan dada montok di depanku, aku muncratkan spermaku sekeras-kerasnya. “Ccrrtt… ccrrtt… ccrrrrrttttt…”, sementara Yati terus mengocoknya dengan keras seakan ingin mengeluarkan seluruh sisa-sisa sperma yang masih ada di batangku. Aku lemas, namun lega. Kulihat ceceran spermaku banyak sekali di tangannya, juga di perut, serta di sekitar batang kemaluanku sendiri. Kusuruh dia melapnya, dia ambil handuknya lalu mulai melap, membersihkan ceceran sperma dengan handuknya. Buru-buru ingin kucegah, namun tak sempat. Handuknya sudah banyak cairan hangat dan lengket.
“Ambil kotak tissue itu saja Yat”, perintahku. Dia mulai membersihkankan kedua tangannya dengan tissue, lalu perutku, dan terakhir membersihkan sisa-sisa sperma di kemaluanku. Lama sekali dia membersihkan di sela-sela rambut dan batang kemaluanku itu. Kupikir kalau cuma mengeringkan sisa sperma kok lama sekali dan mengapa kok tangannya seperti mulai mengelus lagi. Ketika kulirik ke bawah kulihat ditangannya memang sudah tidak ada kertas tissue lagi. Dia sudah selesai membersihkan disitu. Sekarang justru dia sedang membelai batangku yang sudah setengah tiang, dan wajahnya menatapku dengan pandangan yang menurutku seolah meminta. Tapi aku sendiri tidak begitu yakin. Saat dia mulai lagi membelai batangku, aku memang segera terangsang, namun kuputuskan sebelum berbuat, aku harus yakin dulu, si Yati ini benar-benar bisa dipercaya atau tidak dan kupikir aku masih punya banyak waktu, sambil terus memantau dan mengujinya.
Terus terang, aku tidak mau rumah tanggaku hancur berantakan. Mulut Yati memang bisa jadi tidak mungkin membocorkan rahasia kalau akhirnya aku dan pembantuku ini jadi selingkuh, namun justru yang kutakutkan adalah bahasa tubuh dan gerak-geriknya. Apakah nanti bisa memendam rahasia atau tidak. Merasa sudah cukup puas memperlakukan Yati sampai saat ini, aku segera bangkit. Lalu kuucapkan terima kasih padanya dan kupakaikan lagi handuk ke tubuhnya, jadi seperti isyarat untuk menyuruhnya keluar kamar. Mulanya dia hanya diam terpaku. Namun akhirnya dia pamit permisi mau ke kamarnya. Tanpa sepengetahuannya, diam-diam aku menguntit menuju kamarnya. Dan setelah dia menutup pintu dan menggeser gerendel, aku segera mengintip melalui lubang kunci. Sebenarnya saat itu aku hanya ingin tahu apa yang akan dia lakukan setelah kejadian tadi. Apakah dia merenung, menangis, menyesal atau bagaimana. Tapi yang kulihat di kamarnya sekarang… ternyata dia sedang meremas-remas dadanya sendiri dengan satu tangan sedang tangan yang lain mengelus-elus selangkangan. Handuknya sudah tidak dipakainya lagi. Dia telanjang bulat…
Seharian itu aku hanya bermalas-malasan. Baca-baca, Nonton TV, atau main video game anakku, makan siang dan lalu tidur di ruang tengah. Aku terbangun sekitar jam empat sore, saat sayup-sayup terdengar suara guyuran air dari arah kamar mandi belakang. Si Yati pasti sedang mandi. Aku langsung berdiri dan menunggunya keluar. Sengaja aku tidak duduk di bangku panjang seperti tadi pagi, melainkan bersandar di pintu gudang, hingga kalau dia keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kamarnya, dia akan membelakangiku. Tak berapa lama, Yati keluar dan… astaga!, lagi-lagi dia cuma melilitkan selembar handuk untuk menutupi tubuh telanjangnya. Aku belum tahu, apakah dia benar-benar lupa dengan pesanku tadi pagi, atau dia memang sengaja melakukannya lagi dengan harapan…
Dia berjalan membelakangiku menuju kamarnya. Pinggul dan pantatnya terlihat begitu menggairahkan. “Yati!!”, segera kupanggil dia. Yati berbalik, kali ini tampaknya dia tidak terlalu terkejut. “Sini kamu”, dia berjalan ke arahku, aku pun mendekatinya. Kulihat wajahnya seperti tadi pagi, putih pucat, tapi kali ini tubuhnya gemetaran hebat. “Tadi pagi kan sudah saya bilang, jangan keluar kamar mandi cuma pakai handuk begitu!”, kataku dengan suara agak keras. “Iya, Pak… saya… saya… eh…”, dia agak terbata-bata. “Kamu lupa ya?”, maksudku sih cuma untuk membantu menenangkannya. “Iya, Pak… saya lupa”, jawabnya, sesuai perkiraanku.
“Ya sudah”, kataku lagi. “Tapi…, ‘ini’ saya jadi tegang lagi nih”, kataku berbohong sambil menunjuk selangkanganku. “Ayo kita ke kamar”, perintahku. Sampai di kamar aku langsung berbaring. Mencopot baju kaos tapi tidak melepas celana pendek. Sementara dia langsung duduk di tepi tempat tidur. “Kamu lepas dulu deh handuknya”, perintahku. Lalu setelah handuknya dilepas, kubiarkan dia beberapa saat. Aku mau tahu reaksinya dan kalau perlu aku ingin dia yang memulai. Tapi karena lama dia tidak melakukan apa-apa, kutegur dia. “Ayo dong Yat… seperti tadi pagi”, kataku, tapi aku tetap tidak melepas celana pendek. Aku ingin dia merogohku. Perlahan tangannya bergerak… menyusup di celana pendekku dan… dia merogoh penisku. Keningnya berkerut dan spontan dia bertanya.
“Kok masih lemes Pak?”, sambil mencuri pandang ke arahku dan mulai mengelus-elus batangku. “Kamunya kelamaan sih… jadinya lemes lagi”, kataku sekenanya. Dia terus mengelus batangku, memijit, mengusap ujung kepalanya dan sekarang mulai meremas-remas. “Kamu bukain aja deh celananya, biar gampang”, kataku lagi. Dia memelorotkan celana pendekku. Batangku mulai kelihatan tegak. Lalu dia meremas lagi. Ketika batangku sudah tegak sempurna, kusuruh dia naik ke tempat tidur dan dia mulai menaik-turunkan genggamannya di penisku seperti tadi pagi. Di sela-sela kegiatannya mengocok, aku mulai menjalankan aksiku. “Yat.., kamu terangsang nggak?”, tanyaku sambil melihat ekspresi wajahnya. Dia diam, tapi terus menunduk.
“Ah, masa kamu nggak terangsang sih”, kataku sambil bangkit. “Sini coba saya rangsang”, langsung aku memegang buah dadanya, mengelus-elus. Begitu kenyal dan padat. Dia masih diam. Kuraih putingnya dan kupilin, baru dia tergelinjang geli. Lalu kudekatkan wajahku ke gumpalan-gumpalan kenyal itu. kuciumi perlahan satu per satu. mulai kujilat dan akhirnya kukulum putingnya sambil berusaha merebahkan tubuhnya. Kini dia sudah di bawah tindihanku. Aku terus mengulum buah dadanya berganti-ganti, yang kiri dan kanan. Kadang ku lumat dengan bibir, dan sesekali dengan lidah dan gigiku. Kulihat Yati semakin terbakar. Dia mulai melenguh dan mengeliat-geliat. Ciumanku lalu kuarahkan ke perutnya dan terus turun lagi ke selangkangannya. Kuhirup hawanya sebentar. Harum, Gurih, Nikmat. Kemaluannya begitu tembem, sedang garisnya kulihat begitu kecil. Bulu kemaluannya hitam. tidak terlalu lebat, tapi sangat menggemaskan. Kukecup kemaluannya dengan bibirku. Yati bereaksi dan menarik pinggulnya ke atas menjauhi wajahku. Segera kukejar, kali ini kemaluannya langsung kucium dan kujilat. Yati hanya menggeliat perlahan. Dia terus berusaha menggeser tubuhnya menjauhi lidahku. Dan sesekali tubuhnya menyentak-nyentak karena geli.
“Gimana… udah terangsang belum Yat”, godaku. “Kalau belum nih saya tambahin”, kali ini kemaluannya langsung kulumat, kukulum-kulum dan lidahku mencari-cari klitorisnya. Yati tetap hanya menggeliat perlahan, tapi lenguhannya semakin keras, dan sekarang mulai mendesis- desis. Tangan Yati berusaha maraih rambutku, tapi kulihat tidak jadi, lalu dia mengeser-geser lagi tubuhnya ke atas, semakin menjauh. Kuikuti terus dan akhirnya mentok. Dia tidak bisa mundur lagi. Seranganku semakin kutingkatkan. Bertubi-tubi lidahku menjilat sambil tanganku berusaha melebarkan kedua pahanya. Kulumat kencang klitorisnya, kuemut, kuisap dan kadang kigigit-gigit kecil. “Aduh, Pak… Pak… auwww….”, rintihannya mulai terdengar. Aku jadi tambah bersemangat. Terus kuemut dan Kusedot-sedot klit-nya yang memang terasa sedikit manis di lidahku.
“Pak… Pak… ohhh… sudah Pak, Geli Pak… awww…”, ceracauannya semakin tak karuan, dia meliuk-liuk hebat, seperti ular. Kemaluannya terasa semakin hangat dan basah. Dia benar-benar terangsang sekarang. Tanpa membuang-buang waktu, segera kuarahkan batang kemaluanku yang tegak perkasa ke daerah selangkangannya. Kuusap-usapkan ujung penisku ke seluruh permukaan vaginanya dan terutama sekali di celah kemaluannya. Yati masih meliuk-liuk dan sesekali menggelinjang. Lalu kutindih dia hingga batang kemaluanku rapat melintang di atas vaginanya, terjepit di antara tubuhku dan tubuhnya. Kugesek-gesek penisku di vaginanya dan kadang kutekan-tekan, kubuat gerakan-gerakan persis seperti sedang melakukan persetubuhan, tapi batangku tetap tidak kumasukkan. Karena tegangnya batangku jadinya seperti tengah mengiris-iris belahan vaginanya.
Kulihat Yati bergairah sekali merasakan gesekan batangku di permukaan kemaluannya. Apalagi kedua tanganku ikut aktif meremas-remas buah dadanya, membuatnya tambah menggelinjang-gelinjang. Dia juga bergerak- gerak seperti sedang melakukan persetubuhan, padahal batangku tetap berada di luar. Lalu, aku berguling sambil memeluk erat tubuhnya. Posisi Yati kini ada di atasku, menindihku, dengan dua kemaluan kami tetap berhimpitan. ada rasa geli di dadaku karena tergelitik pentil- pentil buah dadanya. Kedua tanganku kini kuletakkan di kedua bongkahan pantatnya dan perlahan kugerak-gerakkan, mengajak pinggulnya bergoyang, maju-mundur, hingga kedua kemaluan kami mulai bergesekan lagi. Karena gerakanku itu, tubuh bagian atas Yati agak terangkat, hingga sekarang Yati seperti sedang menduduki kemaluanku. Aku terus mengerak-gerakkan pantat Yati, dengan kecepatan yang kubuat bervariasi, kadang kumaju-mundurkan, kadang kuangkat-angkat dan kadang kuputar-putar. Lama-lama kurasakan pantat Yati telah bergerak sendiri tanpa memerlukan lagi bantuan tanganku.
Yati kini aktif menggesek-gesekkan kemaluannya di batangku. Sekarang gerakan dan gesekannya malah bertambah rapat dan bertambah liar. Yati kelihatan semakin dikuasai nafsu birahinya. Dia begitu lupa diri. Apalagi kedua tanganku yang sekarang dalam posisi bebas mulai meremas dan memilin kedua putingnya. Dia menggesek sambil menggeliat- geliat. Kubiarkan saja dia mengalami trance seperti itu, sambil berusaha meresapi kenyalnya buah dada dan hangatnya gesekan di batangku. Nikmat juga sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Sekonyong-konyong, Yati agak merenggangkan tubuhnya dari tubuhku. Tangannya mulai menggenggam penisku dan tiba-tiba kurasakan ujung kemaluanku telah menyentuh daerah yang basah namun hangat. Lalu, dia mulai lagi menggerak- gerakkan pinggulnya, tapi tidak seperti tadi yang maju-mundur, kali ini Yati menggerakkan pinggulnya naik-turun, ke atas ke bawah.
Penisku seperti menyundul-nyundul sebuah benda kenyal, nikmat sekali. Yati terus menaik-turunkan pinggulnya sambil kulihat sesekali menahan nafas. Tangannya masih erat menggenggam penisku, sementara matanya terpejam. Beberapa kali Yati mengulang-ulang gerakannya hingga kini kepala kemaluanku mulai terjepit di dalam vaginanya. Yati terus menambah tekanan pinggulnya, gesekan dinding dalam kemaluannya mulai terasa di bagian ujung batangku. Menggigit sekali. lalu dengan satu tekanan yang agak kuat, seperempat dari panjang batangku telah berada di dalam vaginanya. Yati mulai bergerak lagi. Dan rasanya sekarang sudah mulai agak lancar. Untuk sementara waktu dia melakukan gerakan mengocok seperempat batangku. Dan dengan tambahan sedikit tekanan lagi, setengah batangku berhasil melesak. Aku benar-benar takjub, karena dengan usianya yang seperti sekarang, vagina pembantuku ini ternyata masih peret. Aku benar-benar menikmati gerakan naik-turunnya Yati di atasku.
Kedua gerakan itu, baik yang turun maupun yang naik, sama-sama memberikan sensasi nikmat, meski berbeda rasa. Pada saat Yati naik, urat-urat dan kulit kemaluanku seperti tertarik, tersedot, sedangkan pada saat dia menurunkan pinggulnya, kepala kemaluanku seperti menyeruak membelah, seperti memisahkan dinding yang tadinya berhimpitan. Aku terus mengikuti semua sensasi itu sampai akhirnya kurasakan seluruh panjang batangku telah berada di dalam kemaluannya. Saat itu kulihat Yati agak menghela nafas, lega mungkin. Dan untuk sementara dia berhenti melakukan gerakan, seperti hendak meresapi dulu kehangatann seluruh batangku. Sesaat kemudian perlahan dia mulai menaik-turunkan pinggulnya lagi, lambat-lambat, sedikit-sedikit, sepertinya sayang melepaskan jepitan pada penisku yang agak susah payah dia masukkan tadi. Namun lama-lama ia terbawa emosinya lagi. Gerakan naik-turunnya mulai dipercepat, kadang dia naik cukup tinggi hingga urat batang dan kulit kemaluanku seperti ditarik ke atas, sampai tinggal kepalanya saja yang berada di dalam vaginanya, lalu dia hempaskan lagi pinggulnya ke bawah dengan cepat.
Kemaluanku serasa menyelam atau diselamkan, persis seperti gerakan menyelam seorang peloncat indah yang meluncur dari menara 10 meter. Yati sangat pandai memggoyangkan pinggulnya. Selain gerakan ke atas ke bawah, panjang dan pendek, serta cepat dan lambat, dia juga kadang bergerak memutar. Dan yang paling kusuka adalah apabila dia melakukan gerakan seperti mengulek kemaluanku. Posisinya duduk, vaginanya merapat dan batangku menjangkau begitu dalam, lalu dia bergerak seperti gabungan antara maju-mundur dan keatas ke bawah, namun sepertinya tidak ada sedikit pun dari batangku yang keluar dari vaginanya. Kedua kulit di sekitar pangkal kemaluan kami tetap berhimpitan begitu rapatnya. Semua gerakan itu dilakukannya berulang- ulang, semakin lama semakin cepat dan semakin liar. Sementara aku hanya sedikit-sedikit saja mengimbangi dengan mengangkat-angkat pinggulku ke atas. Aku justru lebih berkonsentrasi menikmati buah dadanya yang bergoyang-goyang indah karena gerakan tubuhnya.
Kadang kuremas, kupilin putingnya dan kadang kukulum kalau mulutku berhasil menangkapnya jika dia sedang merunduk. Aku yakin remasan dan kulumanku ini justru makin menambah bahan bakar bagi api gairahnya. Dari posisiku yang berbaring terlentang, aku dapat melihat saat-saat Yati sedang mendekati puncak birahinya. Gerakan mengulek “gado-gado”nya tiba-tiba semakin dipercepat… semakin dipercepat dan… tiba-tiba berhenti sama sekali. Tubuh Yati mengejang, melengkung ke belakang, kedua tangannya memegang pahaku di belakang tubuhnya, sementara selangkangannya menekan kuat ke bawah hingga batangku seperti tertancap dalam sekali di vaginanya. Segera saja kedua tanganku mencengkeram kuat kedua buah dadanya, sambil meilin-milin putingnya, dengan harapan dapat lebih memambah rasa nikmat dari orgasme yang didapatnya.
Hampir satu menit lamanya bagian dalam kemaluan Yati berkontraksi, berkedut-kedut, sambil melepaskan cairan hangat yang kental. Sementara kedua tanganku kali ini beralih memegang pinggangnya dan menekan pinggulnya ke bawah, hingga kedua kemaluan kami begitu rapat menyatu. Terasa kepala kemaluanku seperti menyundul ujung rahimnya yang bergerinjal. Lalu Yati menjatuhkan badannya menindihku dengan nafas memburu, tersengal-sengal. Kelihatan sekali dia begitu lelah, tapi kelihatan sekali bahwa dia juga begitu puas. Kedua putingnya kembali menimbulkan rasa geli di dadaku. Untuk sementara waktu, kubiarkan dia berada di atas tubuhku, beristirahat sambil mengatur nafasnya. Kemaluanku masih tegak dan masih berada di dalam vaginanya. Kupeluk dia, tapi tak begitu erat. Lalu dengan nada yang kubuat seperti penyesalan, aku berbisik.
“Kok, dimasukin Yat… tadi kan cuma saya gesek-gesek?”, sengaja aku memancing rasa bersalahnya, seolah-olah bukan aku, tapi dia lah yang berinisiatif melakukan persetubuhan. “Maaf Pak… saya… saya…”, dia tergagap, pucat, kelihatan sekali dia tak menyangka akan mendengar pernyataan seperti itu keluar dari mulutku. “Kamu udah nggak tahan ya?, lanjutku lagi. “Iya Pak… Maaf Pak…”, katanya seperti menghiba. “Ya sudah”, kataku, lalu pura-pura berpikir sejenak. “Tapi kalau sampai istri saya tahu… gimana?”, kataku lagi. “Ibu jangan sampai tahu Pak… tolong Pak… Bapak jangan bilang ke Ibu…”, kulihat wajahnya semakin pucat. Tidak tega aku menatap wajahnya.
“Bukan begitu… saya kan cuma nanya, bagaimana kalau sampai istri saya tahu… tapi saya kan nggak mungkin bilang…”. “Saya juga nggak mungkin bilang kok Pak… Bener pak”, sambarnya cepat. Ah, lega aku… semua skenarioku berjalan lancar. Selanjutnya, tentu akan lebih mudah bagiku menikmati tubuh pembantu sementaraku ini. “Kalau begitu, ini jadi rahasia kita berdua… tolong kamu jaga”, kataku wanti-wanti. “Iya Pak”, katanya sambil berusaha bangkit, tapi buru-buru kutahan. Aku tak mau batangku lepas begitu saja dari dalam vaginanya. “Kamu mau kemana… ‘ini’ saya kan belum keluar”, kataku. kugerakkan pinggulku ke atas seperti menyadarkannya bahwa penisku masih tegang dan ada di dalam tubuhnya. Yati kelihatan seperti berpikir sejenak. Lalu…
“Saya keluarin sekarang Pak”, katanya, lagi-lagi dia berusaha bangkit, namun lagi-lagi pula aku menahannya. Mungkin dia pikir aku menyuruhnya mengocok seperti tadi pagi. “Tadi kan kamu nyampe dengan ‘ini’ saya… biar imbang… ya, saya juga mau keluarnya pakai ‘itu’ kamu”, kembali kugerakkan pinggulku. Kelihatan Yati agak terhenyak, lalu tersipu. “Memang… Bapak mau beginian sama saya… saya kan cuma pembantu Pak?”, katanya seperti tak percaya. Aku cuma tersenyum… “Memangnya… sekarang kita lagi ngapain…?”, kataku, kali ini aku dua kali mengangkat pinggulku dan kulihat dia makin merah tersipu. “Kamu masih capek?”, lanjutku lagi, dia mengangguk. Lalu kupeluk erat tubuhnya, kugulingkan hingga kini aku yang menindihnya, tanpa sama sekali mengeluarkan penisku dari vaginanya.
“Kalau gitu saya yang bergerak deh… kamu boleh istirahat dulu”, kataku sambil perlahan mulai memaju-mundurkan batangku di dalam kemaluannya. Kini gantian aku yang mengoyangnya. Kemaluannya sudah agak licin, tapi tetap sempit. Bayangkan, licin tapi sempit. Sementara Yati nampak pelan-pelan ikut bergerak juga. Untuk menaikkan kembali gairahnya maka kedua buah dada montoknya keusap dan kuremas-remas, sesekali putingnya kupilin dengan tangan dan kadang dengan mulutku. Hidung dan lidahku terus menciumi lehernya, dan supaya lebih intens, maka bibirnya yang tipis kucium lembut, lalu kukulum dan akhirnya kulumat. Luar biasa, Yati membalas lumatanku dan kini pinggulnya mulai erotis bergerak. Yati sepertinya telah ON lagi. Dia semakin mantap mengimbangi gerakan naik-turunku. Setiap variasi gerakan yang kubuat selalu disambutnya dengan hangat. Aku semakin menikmati persetubuhan ini.
Gerakanku kadang-kadang kupercepat dan kadang-kadang agak kulambatkan. Gesekan kulit batangku pada dinding vaginanya kadang sedikit sekali tapi kadang juga hampir di seluruh panjang batangnya. Kedua tubuh kami mulai berkeringat. Pada saat gelombang kenikmatan itu semakin membesar maka pompaan yang kulakukan pada tubuhnya makin lama makin kupercepat, juga makin kuperdalam. Yati sampai tergelinjang-gelinjang sambil memejamkan mata, dan kulihat mulai menggigit bibirnya. “Kenapa Yat?”, tanyaku sambil terus memompa. “Nggak apa-apa Pak… rasanya gede bener… auww… Pak!…”, Yati merintih keenakan ketika penisku menghunjam sampai bagian yang paling dalam di vaginanya. “Enak?”. “Enak sekali Pak… auww… panjangnya kerasa…”.
“Kamu suka?”, tanyaku sambil memperhatikan ekspresi wajahnya yang sedang meresapi kenikmatan batangku. Yati tidak menjawab, tapi sebagai gantinya, dia makin erat memeluk pinggangku, dan tubuhnya makin dirapatkan ke tubuhku. Tangannya menekan pinggangku sementara pinggulnya sendiri kini aktif bergerak ke atas ke bawah dan berputar- putar. Aku sampai terpejam-pejam merasakan goyangannya ini. Nikmatnya terasa sampai di ubun-ubun. Batangku terasa semakin mengembang, cairan spermaku sepertinya sudah terkumpul semua di situ, siap untuk ditembakkan sewaktu-waktu. Aku pun tak tinggal diam, pompaanku makin kupercepat, dan kupercepat lagi. Kulihat Yati pun tampaknya semakin mendaki menuju puncak tertinggi yang dapat diraih dari sebuah persetubuhan.
“Yatt… saya… sudah hampir… di dalam apa… di… luarrr…”, tanyaku terputus-putus oleh nafas nikmat yang kurasakan. “Terserah Bapak…”, jawabnya sambil terus menggeliat, berusaha mendaki untuk mencapai puncak. “Kamu maunya… di dalam apa di…”, tanyaku lagi. “Di dalam aja Pak… saya lagi nggak subur kok… auww…Pak!…”, Yati makin merintih dan mendesah nikmat ketika tiba-tiba aku memompa vaginanya dengan cepat, makin cepat, sangat cepat, cepat sekali dan… Ccrrtt… ccrrtt… ccrrrrrtt… ccrrtt… tubuhku menegang, pompaanku berhenti sama sekali. Penisku kuhunjamkan sedalam-dalamnya. Banyak sekali cairanku yang keluar. Tubuh Yati juga menegang, berhenti menggeliat dan dari dalam vaginanya kurasakan desiran- desiran yang hangat.
Ahh… Aku puas sekali. Aku masih menindih tubuhnya, sama-sama mulai mengatur nafas. Batangku masih berada di dalam kemaluannya. Kupandangi wajahnya yang sedang terpejam, seperti sedang merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru dialami. “Ternyata bersetubuh denganmu jauh lebih nikmat daripada dengan istriku, padahal wajah istriku jauh lebih manis, dan kulitmu pun tidak seputih atau semulus kulit istriku… dan bahkan usiamu pun tak semuda istriku”, tapi tentu ini kata-kataku di dalam hati saja. Aku tidak tahu, apakah karena aku sudah terlalu sering melakukannya dengan istriku, ataukah karena memang dia memiliki daya tarik seksual yang luar biasa, atau justru karena usianya yang… dia sudah begitu matang. Ketika aku berguling, terlentang di sampingnya.
Kulihat Yati bangun. Lalu dengan handuknya dia mulai membersihkan cairan-cairan lengket, campuran antara sperma dan cairan vagina di sekitar selangkangannya. Setelah itu, masih dengan handuk yang sama, dia mulai membersihkan sisa-sisa sperma di sekitar batang dan rambut kemaluanku. caranya membersihkan begitu telaten sekali. Sepertinya dia sayang sekali dengan batangku ini. Lembut batangku digenggamnya ketika dia mulai melap rambut di kiri-kanan buah zakarku, sementara buah dadanya merapat erat di pahaku. Diperlakukan begitu oleh seorang wanita telanjang menggairahkan, tentu saja penisku yang tadinya akan melemas kini berbalik dan kembali menegang. Sekarang malah sudah tegang sempurna, siap digunakan bertempur kembali.
Namun karena kupikir aku masih punya banyak waktu, maka untuk sementara penisku kusuruh istirahat dulu, sambil mengumpulkan tenaga. Dan supaya segar, lebih baik aku mengajak Yati mandi bersama. Malam itu aku memintanya supaya tidak usah menyiapkan makan malam. Urusan perut mudah… tinggal menunggu tukang makanan yang banyak lewat di depan rumahku. Sate, Nasi Goreng, Mie dok-dok dan lain-lain. yang lebih penting sekarang adalah urusan di bawah perut. aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku berdua dengan pembantu sementaraku ini. sambil menunggu tukang makanan yang lewat, aku mengajaknya nonton TV. Tapi tidak diduduk di sofa, melainkan di lantai. Dengan berselonjor kaki, aku memeluk tubuh Yati dari belakang. Kusandarkan punggungnya ke dadaku, sementara kedua tanganku mulai mengarah, satu ke dada dan satu ke selangkangannya, menyusup lewat bawah dasternya. Begitu kedua tanganku mendapatkan BH dan CD, segera kuminta dia melepaskannya dan kubilang kalau sedang berdua saja denganku seperti ini di rumah, tidak perlu memakai BH dan CD. Yati mengangguk.
Kubilang pula bahwa kalau di rumah aku pun hanya pakai celana pendek dan tanpa CD, sambil kuajak tangannya menyusup ke dalam celana pendekku. Yati mulai meremas batangku begitu dia mendapatkan kemaluanku yang sudah tegang. Lalu dia mulai menaik-turunkan tangannya, mengocok penisku. Kedua tanganku pun tentu tak tinggal diam, jariku yang telah memasuki celah selangkangannya kini mengusap dan memilin klitorisnya. Yati mulai tergerinjal-gerinjal. Kami akhirnya bermain sampai puas di lantai sambil duduk berhadapan, kakiku berselonjor sedang dia ada di atas pahaku menaik-turunkan pinggulnya. Setelah diselingi makan malam, sekali lagi kami bermain, tapi kali ini di dalam kamarku. Sampai sekitar jam 11 malam Yati pamit karena dia bilang akan tidur di kamarnya sendiri. Kendati aku sudah memintanya untuk menemani tidur di kamarku, namun dia menolak, mungkin karena segan.
Karena sudah terlalu lelah dan mengantuk, aku tidak mau memaksa lagi. Kubiarkan dia meninggalkan kamarku menuju kamarnya sendiri di belakang. Sekitar jam 4 pagi aku terjaga dan seperti biasa saat baru bangun tidur itu penisku tegang sekali. Begitu teringat Yati, aku segera menanggalkan selimutku dan keluar kamar, telanjang bulat dengan penis mengacung-acung menjuju kamar pembantuku itu. Kulihat kamar Yati gelap namun waktu kudorong pintunya ternyata tidak dikunci. Aku masuk dan setelah mataku menyesuaikan diri dengan keadaan gelap di dalam, aku mendapatkan seonggok tubuh sedang tidur berbaring meringkuk membelakangi pintu dan menghadap ke dinding. Kubaringkan tubuh telanjangku di sebelahnya, lalu kupeluk dia dari belakang sementara tanganku mulai menggerayangi buah dadanya, sedang penisku kutempel erat pada bongkahan pantatnya. Segera saja aku tahu bahwa Yati tidur hanya memakai daster, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya. Tanganku lalu segera beralih menyusup lewat bawah dasternya menuju ke selangkangannya, mencari celah nikmatnya. dan begitu kudapatkan maka jari-jariku mulai mengelus dan merangsangnya.
Kurasakan Yati mulai menggeliat-geliat keenakan dan begitu terjaga, dia kaget dan langsung berbalik menghadap ke arahku. Begitu Yati tahu yang memeluknya adalah aku, kelihatan mukanya agak lega. “Ah, Bapak…”, hanya itu yang sempat keluar dari mulutnya karena seketika itu juga bibirnya kulumat dan tanganku makin aktif mengelus- elus vaginanya. “saya pengen lagi Yat… abis punya kamu enak banget”, bisikku. “Punya Bapak juga mantep Pak… saya jadi pengen tiap hari”.
Nikmat sekali bersetubuh di pagi hari itu. Hari-hari selanjutnya aku dan yati selalu bermain dan mencoba-coba berbagai variasi. Tempatnya kadang-kadang di kamar tidurku, di kamarnya, di ruang TV, di kamar mandi, di dapur dan bahkan pernah suatu kali kami menggelar tikar di rumput halaman belakang rumahku.
Setelah istri dan anak-anakku pulang dari liburan pun, hubungan kami terus berlanjut, karena memang sangat memungkinkan. Jam 6:30 pagi anak-anakku sudah dijemput angkutan sekolahnya dan baru tiba di rumah lagi sekitar jam 11:30 siang. Istriku pergi ke kantor dengan mobilnya sendiri tak lama setelah anak-anakku berangkat sekolah karena dia harus standby di ruang kerjanya sekitar jam 8 pagi. Jam 4:30 dia baru bisa pulang ke rumah. Sedang jam kerjaku sendiri di kantor baru dimulai 9:30 pagi, hingga bisa berangkat dari rumah sudah agak siang, sekitar jam 8:30. Dengan demikian, setiap hari aku mempunyai waktu berdua saja di rumah dengan Yati sekitar 2 jam, yaitu dari jam 6:30 sampai dengan jam 8:30. Praktis cuma hari Minggu, aku tidak bisa berhubungan dengannya, sedang pada hari Sabtu, aku libur dan istriku masuk kantor sampai jam 1 siang. Sampai sekarang sudah lima bulan ini Yati bekerja menjadi pembantu sementara di rumahku, dan kami tetap bercinta dengan frekuensi dua sampai tiga kali seminggu, namun kami tidak pernah melewatkan hari Sabtu, karena pada hari itu aku mempunyai lebih banyak waktu untuk menikmati tubuhnya.

Comments :

0 komentar to “Pembantu Sementara”

Posting Komentar